Bekapjabar.com Bekasi – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) mengungkap dari perluasan
sampling dan pengujian ditemukan produk sirup obat yang mengandung EG -DEG
Melebihi ambang batas yang ditetapkan diketahui terdapat tiga industri farmasi yang memiliki produk obat sirup tercemar EG-DEG yang telah banyak menelan korban jiwa anak-anak kecil yang tidak bersalah.
Sudah selayaknya pertanggugngjawaban hukum dibebankan kepada pelaku usaha (pimpinan perusahaan dan/atau korporasinya) yang dianggap telah melakukan pelanggaran tersebut, apalagi baru-baru ini ditemukan fakta adanya penggunakan zat yang melebihi ambang batas tersebut berasal dari jenis industri yang harganya lebih murah.
Dibandingkan obat untuk jenis makanan/minuman hal ini merupakan unsur kesengajaan yang harus dipertanggung jawabkan secara hukum, selain tanggungjawab hukum pidana sebagai akibat perbuatan pidananya perlu juga pelaku usaha tersebut dibebankan adanya restitusi pelaku usaha agar keluarga korban mendapatkan penggantian segala biaya pengurusan anaknya meninggal dunia.
“Terhadap kejadian tersebut Ulung Purnama,SH,MH. Direktur Kajian dan Bantuan Hukum (KBH) Wibawa Mukti mendorong Aparat Penegak Hukum menerapakan restitusi bagi pelaku agar para keluarga korban mendapatkan ganti rugi dalam mengajukan pemeriksaan perkara pidana”.
Karena akibat penggunaan EC-DEG yang melebihi ambang batas berakibat telah memakan banyak korban anak kecil yang meninggal dunia yang jumlahnya ratusan akibat adanya cemaran obat yang melebihi ambang batas tersebut.
Sehingga sejak awal penyidikan terkait tindak pidananya Aparat Penegak Hukum juga harus menerapkan restitusi dalam penyelidikannya agar adanya penggantian kerugian bagi keluarga korban, sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan: Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.
Lalu yang disebut Korban adalah orang termasuk anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau masih dalam kandungan yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku terhadap:
Salah satunya pada Huruf (a) permohonan Restitusi atas perkara tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK.
Restitusi merupakan Hak oleh karena itu Korban berhak memperoleh Restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/ atau penghasilan; ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau; kerugian lain yang diderita Korban. sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.
Permohonan Restitusi tidak menghapuskan hak korban, keluarga ahli waris dan wali untuk mengajukan gugatan perdata.
KBH Wibawa Mukti mengingatkan Aparat Hukum dalam hal ini Kepolisian RI dan Kejaksaan RI untuk mengedepankan adanya restitusi bagi para keluarga korban akibat anak yang telah meninggal dunia, Peraturan Mahkamah Agung tersebut (PERMA) tersebut dapat digunakan sebagai rujukan mendapatkan ganti rugi.
Karena tidak semua keluarga korban memiliki kemampuan untuk melakukan upaya hukum oleh karena itu sudah selayaknya Pemerintah untuk mendorong Aparat Hukum menerapkan restitusi tersebut bagi setiap korban agar mengurangi penderitaan keluarga korban dan harus menjadi peringatan keras bagi pelaku usaha yang menyimpangi aturan yang sudah ditetapkan.
Oleh karena itu sangat beralasan penerapan restitusi dalam proses perkara pidana tersebut, selain itu dimungkinkan pula korban atau yang mewakilinya dapat mengajukan permohonan penetapan restitusi secara terpisah dengan mengajukan penetapan secara langsung ke Pengadilan Negeri tempat perkara berlangsung dan atau melalui Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) sebagai pemohonnan. (red)