Tokoh spiritual bisa lahir berbagai bangsa maupun agama apa pun yang ada. Sebab laku spiritual mampu dilakukan oleh setiap orang yang memiliki basis keagamaan yang kuat. Begitulah, kisah Dalai Lama, pemimpin spiritual bangsa Tibet dan panutan umat Budha dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia yang cukup banyak menjadi pengikut ajaran dan tuntunannya.
Meskipun Dalai Lama yang bernama lengkap Jetsun Jamphel Ngawang Lobsang Yeshe Tenzin Gyatno mendapat gelar terhormat oleh rakyat China sebagai “Serigala berjubah Biksu”, sekaligus Kepala Pemerintahan Tibet ini harus hidup dalam pengasing di kaki Pegunungan Himalaya.
Dalai Lama memerintah di Tibet sampai Republik Rakyat Tiongkok daerah kekuasaannya pada tahun 1949 hingga kemudian China mengambil alih kendali sepenuhnya negeri Tibet pada tahun 1959. Inilah awal dari kisah Dalai Lama melarikan diri ke India. Padahal, Dalai Lama ke-14 ini hanya menginginkan otonomi bagi Tibet, bulan kemerdekaan seperti acap dikatakan oleh banyak orang sebelum maupun sesudah peristiwa pelarian menuju tempat pengasingan. Pendek kata, pada musim gugur tahun 1951 keberhasilan telak Tentara Merah China menguasai sepenuhnya Ibu Kota Lhasa, lantaran Dalai Lama menolak kesepakatan kerja sama “Rencana Pembebasan Damai Untuk Tibet”. Namun dalam prakteknya, China melakukan penindasan dan pembantaian terhadap sejumlah kepala suku dan para pendeta yang diklaim melakukan pembangkangan.
Kecuali itu, China berdalih ingin menghapus praktik penindasan model feodalisme di Tibet. Namun sejumlah analis internasional melihat ambisi China ingin menguasai kandungan mineral yang ada di perut bumi Tibet.
Sejarah mencatat, pada tahun 1959, Dalai Lama (14) berhasil meloloskan diri dari upaya penangkapan yang dilakukan Tentara Merah Republik Rakyat China.
Pelarian Dalai Lama dipimpin oleh orang kepercayaannya bernama Gampo Tashi dan terus menegakkan pemerintahan dalam pelarian itu di Dharamsala, India Utara sampai sekarang. Sebelum Dalai Lama melarikan diri ke pengasingan, rakyat Tibet sempat melakukan perlawanan terhadap invasi China hingga menimbulkan banyak korban berjatuhan, terutama yang paling banyak dialami rakyat Tibet. Pertempuran yang tidak seimbang — utamanya dari peralatan perang yang tidak memadai dimiliki oleh rakyat Tibet — dan minimnya pemberitaan atas kekejian China terhadap rakyat Tibet — perlawanan rakyat Tibet pada kisaran tahun 1970 dapat dipadamkan oleh China.
Itulah sebabnya pada era tahun 1960-1970 masalah Negara dan Bangsa Tibet menjadi masalah bagi China dalam membangun hubungan internasional dengan berbagai negara dan bangsa yang ada di dunia. Sampai tahun 2000-an, pemimpin Tibet kedua menyatakan bergabung dengan China di Beijing.
Syahdan, negara Tibet yang terdiri dari berbagai komunitas yang ada di sepanjang Yarlung Tsangpo — sungai terpanjang di Tibet — mampu berhimpun dalam satu kerajaan sejak tahun 600 Masehi. Setidaknya, saat umat Budha banyak berdatangan ke Tibet pada masa Songtsen Gampo menjadi raja di Tibet. Dan pada masa Trisong Detsen menjadi Raja, kekaisaran Tibet mempunyai kendali penuh atas wilayah yang cukup luas. Konon ceritanya, perbatasan kekuasaan kekaisaran Tibet sempat menyentuh Asia Tengah dan Afganistan di bagian barat serta Bangladesh di bagian selatan. Lalu Tiongkok di bagian timur.
Tragedi terbunuhnya Raja Langdarma pada tahun 842 Masehi, runtuhnya kekaisaran Tibet. Hingga Tibet tak lagi dikuasai oleh satu raja, karena kemudian bermunculan kerajaan-kerajaan kecil yang baru.
Setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang, tahun 1300 Tibet kembali menemukan cahaya kemerdekaan, meski terlanjur berada di bawah siluet bayang-bayang penguasa Mongol hingga tahun 1577 saat Altan Khan berkuasa. Pada kisaran tahun 1800, kekaisaran Inggris dan kekaisaran Rusia mulai tertarik untuk menguasai Tibet. Inggris yang merangsek ke Tibet pada tahun 1903 hingga 1904 menekan Tibet agar tidak bersahabat dengan Rusia. Lantaran revolusi terjadi pada 1911, Tibet dapat kembali merdeka hampir 40 tahun lamanya, sampai kemudian dikuasai oleh China sampai sekarang.
Tibet sebagai kerajaan yang merdeka, akhirnya menjadi bagian dari Provinsi yang ada di bawah kekuasaan China. Sehingga keruntuhan negara Tibet juga menggugurkan pemimpin keagamaan Budha. Betapa unik dan pelik, perjalanan dan perlawanan dalam ranah politik hingga spiritual bangsa dan negara Tibet yang harus dilakukan dari tempat pengasingan dari negeri orang.
Banten, 9 September 2024